Pemerintah Republik Indonesia pada masa pasca kemerdekaan, belum mempunyai waktu untuk membenahi masalah perbatasan, baik dengan Malaya yang saat itu menjadi bagian dari Inggris dan perbatasan dengan negara lain. Ada tiga hal yang menyebabkan hal itu bisa terjadi. Pertama, pemerintah konsentrasi pemerintah terkuras untuk mengurus masalah dalam negeri yang penuh gejolak. Kedua, ada masalah Papua Barat yang masih ditongkrongi Belanda. Ketiga, pemerintahan Malaya juga menghadapi masalah dalam negeri dalam hubungannya dengan Inggris yang menjajah mereka. Masalah perbatasan Indonesia mulai mendapat perhatian di masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1956 14 Maret 1957). Batas wilayah laut di Indonesia pada saat itu masih diatur oleh peraturan warisan Belanda yang dikenal dengan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (selanjutnya disebut Ordonantie 1939). Dalam Ordonantie 1939 ditentukan bahwa jarak teritorial bagi tiap-tiap pulau di Indonesia adalah tiga mil dari garis pantai masing-masing pulau. Peraturan itu memunculkan banyak wilayah laut bebas di antara pulau-pulau yang ada di Indonesia. Laut bebas ini membuat wilayah Indonesia menjadi terpisah-pisah. Gagasan untuk mengubah Ordonantie 1939 muncul atas desakan dari beberapa departemen yang merasa hukum laut warisan Belanda itu tidak dapat melindungi keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar itulah, Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo membentuk sebuah tim yang ditugaskan untuk membuat RUU tentang Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Tim ini berdiri berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956 itu dipimpin oleh Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi .
Panitia Pirngadi, setelah hampir satu tahun lebih, dapat menyelesaikan rencana RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Sebagian besar isi dari RUU itu hampir sama dengan Ordonantie 1939, namun memiliki perbedaan pada penentuan garis teritorial yang sebelumnya 3 mil, menjadi 12 mil laut. RUU tersebut belum sempat disetujui, karena Kabinet Ali II kemudian bubar, dan digantikan oleh Kabinet Djuanda.
Kabinet Djuanda masih melanjutkan RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim, dengan menugaskan Mr. Mochtar Kusumaatmaja untuk mencari dasar hukum untuk mempertahankan wilayah Republik Indonesia. Mr. Mochtar Kusumaatmaja kemudian memberikan gagasan yang disebut Archipelagic Principle yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1951. Sebagai alternatif terhadap RUU dan gagasan Archipelagic Principle itu kemudian dibuatlah konsep Asas Negara Kepulauan. Ir. Djuanda mempunyai pemikiran bahwa harus segera mengesahkan RUU tersebut, karena banyak kapal Belanda yang melakukan intervensi dari dan menuju New Guinea di zona laut yang bebas.
Ir. Djuanda
Gagasan Mr. Mochtar Kusumaatmaja yang menggunakan Asas Negara Kepulauan diterima pada saat sidang parlemen tanggal 13 Desember 1957, pemerintah mengeluarkan pengumuman yang isinya segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dri wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.
Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka Ordonantie 1939 sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, dan garis teritorial laut Indonesia yang sebelumnya 3 mil menjadi 12 mil. Namun, tidak lama setelah Indonesia mengeluarkan peraturan tersebut, muncul beberapa reaksi terhadap peraturan tersebut. Reaksi protes datang dari beberapa negara seperti dari Amerika Serikat (tanggal 30 Desember 1957), Inggris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Perancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958). Reaksi penolakan tersebut sudah dipikirkan oleh pemerintah Indonesia, dan sudah pula diumumkan bahwa reaksi-reaksi dari berbagai negara tersebut akan diperhatikan dan dibahas dalam konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan pada 1958 di Jenewa. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah siap dengan reaksi protes yang diajukan dan siap berdebat pada konferensi di Jenewa.
Mr. Mochtar Kusumaatmadja
Delegasi Indonesia yang datang pada konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang diadakan di Jenewa terdiri atas Mr. Ahmad Subardjo Djojohadisuryo, S.H. yang pada waktu menjabat sebagai Duta Besar RI di Swiss, Mr. Mochtar Kusumaatmadja, Goesti Moh. Chariji Kusuma, dan M. Pardi (Ketua Mahkamah Pelayaran). Dalam kesempatan itu delegasi Indonesia mengemukakan asas Archipelagic Principle dalam pidatonya. Inilah untuk pertama kali masyarakat internasional mendengar penjelasan mengenai implementasi Archipelagic Principle terhadap suatu negara yang melahirkan Archipelagic State Principle yang pada waktu itu masih asing bagi dunia. Asing karena asas ini eksis tapi belum ada satu pun negara di dunia yang menggunakannya. Meskipun telah dijelaskan lewat pidato, negara-negara yang pernah menyampaikan protes kepada pemerintah Indonesia belum dapat menerima. Hanya, Indonesia mendapatkan dukungan dari Ekuador, Filipina, dan Yugoslavia. Pemerintah Indonesia kemudian menggunakan beberapa cara untuk mendapat simpati dari negara-negara lain, misalnya dengan menyebarkan tulisan The Indonesian Delegation to the Conference on the Law of the Sea. Usaha itu mulai membuahkan hasil dan setelah itu mulai banyak negara-negara yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian merancang peraturan 13 Desember menjadi undang-undang agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Pada tahun 1960 pengumuman tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 4/ 1960. Produk hukum inilah yang kemudian juga disampaikan pada Konferensi Hukum Laut PBB ke dua yang diselenggarakan tahun 1960, namun usul Indonesia masih belum dapat diterima. Pada tahun 1962, Indonesia kembali menerbitkan PERPU No. 8/ 1962 mengenai Lalu-lintas Laut Damai Kapal Asing dalam Perairan Indonesia, dan masih terus menyempurnakan implementasi Asas Negara Kepulauan dalam sistem hukum di Indonesia. Jalan Indonesia untuk memperjuangkan diakuinya Asas Negara Kepulauan mulai menemui kemudahan ketika pada tahun 1971 Indonesia dipilih menjadi anggota Committee of the Peaceful Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor beyond the Limit of National Jurisdiction yang merupakan badan PBB untuk mempersiapkan Konferensi Hukum Laut PBB. Dipilihnya Indonesia sebagai anggota badan tersebut, membuat Indonesia lebih mudah dalam menyosialisasikan implementasi prinsip negara kepulauan agar mendapatkan pengakuan dari pihak internasional. 12 Maret 1980, dengan menggunakan dasar Hukum Laut Internasional mengenai Economic Exclusive Zone Pemerintah Indonesia juga mengumumkan peraturan tentang Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil diukur dari garis dasar. Pada tahun 1983, pengumuman ini disahkan menjadi Undang-undang RI No. 5/ 1983.
Konsep negara kepulauan sendiri baru disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia pada 10 Desember 1982 pada Konvensi Hukum Laut Internasional. Tidak hanya konsep negara kepulauan saja yang disetujui, namun juga mengenai ZEE. Lebih dari itu, konsep negara kepulauan juga dimasukkan sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut PBB. Suatu kemenangan diplomasi Indonesia yang patut dicatat sejarah. Karena itulah kini taggal 13 Desember, hari di saat UU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim dan di terimanya Asas Negara Kepulauan, diperingati sebagai Hari Nusantara. Hari di saat para stake holder bangsa kita memperjuangkan kedaulatan wilayah NKRI di masa lalu. Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita mengenal Indonesia berikut pulau, laut, dan masyarakat yang hidup di dalamnya? (Omar Mohtar)
Daftar Pustaka :
Buku
Djamin, Awaloeddin. 2001. Ir H. Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Hamzah, A. 1984. Laut, Teritorial dan Perairan di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.
Wulandari, Triana, dkk. 2009. Sejarah Wilayah Perbatasan Batam Singapura 1924 2009. Depok : Gramata Publishing.
Artikel
Tri, Sulistyono, Singgih. 2008. Konsep Batas Wilayah Negara di Nusantara: Kajian Historis. (diunduh dari HYPERLINK http://eprints.undip.ac.id/3258/1/13_artikel_pak_Singgih.doc; pada 19 Maret 2012, pukul 13.52 WIB)
Internet (diakses dan diunduh pada 13 Desember 2011, pukul 19.51 WIB)
Omar Mohtar
Panitia Pirngadi, setelah hampir satu tahun lebih, dapat menyelesaikan rencana RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Sebagian besar isi dari RUU itu hampir sama dengan Ordonantie 1939, namun memiliki perbedaan pada penentuan garis teritorial yang sebelumnya 3 mil, menjadi 12 mil laut. RUU tersebut belum sempat disetujui, karena Kabinet Ali II kemudian bubar, dan digantikan oleh Kabinet Djuanda.
Kabinet Djuanda masih melanjutkan RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim, dengan menugaskan Mr. Mochtar Kusumaatmaja untuk mencari dasar hukum untuk mempertahankan wilayah Republik Indonesia. Mr. Mochtar Kusumaatmaja kemudian memberikan gagasan yang disebut Archipelagic Principle yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1951. Sebagai alternatif terhadap RUU dan gagasan Archipelagic Principle itu kemudian dibuatlah konsep Asas Negara Kepulauan. Ir. Djuanda mempunyai pemikiran bahwa harus segera mengesahkan RUU tersebut, karena banyak kapal Belanda yang melakukan intervensi dari dan menuju New Guinea di zona laut yang bebas.
Ir. Djuanda
Gagasan Mr. Mochtar Kusumaatmaja yang menggunakan Asas Negara Kepulauan diterima pada saat sidang parlemen tanggal 13 Desember 1957, pemerintah mengeluarkan pengumuman yang isinya segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dri wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.
Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka Ordonantie 1939 sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, dan garis teritorial laut Indonesia yang sebelumnya 3 mil menjadi 12 mil. Namun, tidak lama setelah Indonesia mengeluarkan peraturan tersebut, muncul beberapa reaksi terhadap peraturan tersebut. Reaksi protes datang dari beberapa negara seperti dari Amerika Serikat (tanggal 30 Desember 1957), Inggris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Perancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958). Reaksi penolakan tersebut sudah dipikirkan oleh pemerintah Indonesia, dan sudah pula diumumkan bahwa reaksi-reaksi dari berbagai negara tersebut akan diperhatikan dan dibahas dalam konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan pada 1958 di Jenewa. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah siap dengan reaksi protes yang diajukan dan siap berdebat pada konferensi di Jenewa.
Mr. Mochtar Kusumaatmadja
Delegasi Indonesia yang datang pada konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang diadakan di Jenewa terdiri atas Mr. Ahmad Subardjo Djojohadisuryo, S.H. yang pada waktu menjabat sebagai Duta Besar RI di Swiss, Mr. Mochtar Kusumaatmadja, Goesti Moh. Chariji Kusuma, dan M. Pardi (Ketua Mahkamah Pelayaran). Dalam kesempatan itu delegasi Indonesia mengemukakan asas Archipelagic Principle dalam pidatonya. Inilah untuk pertama kali masyarakat internasional mendengar penjelasan mengenai implementasi Archipelagic Principle terhadap suatu negara yang melahirkan Archipelagic State Principle yang pada waktu itu masih asing bagi dunia. Asing karena asas ini eksis tapi belum ada satu pun negara di dunia yang menggunakannya. Meskipun telah dijelaskan lewat pidato, negara-negara yang pernah menyampaikan protes kepada pemerintah Indonesia belum dapat menerima. Hanya, Indonesia mendapatkan dukungan dari Ekuador, Filipina, dan Yugoslavia. Pemerintah Indonesia kemudian menggunakan beberapa cara untuk mendapat simpati dari negara-negara lain, misalnya dengan menyebarkan tulisan The Indonesian Delegation to the Conference on the Law of the Sea. Usaha itu mulai membuahkan hasil dan setelah itu mulai banyak negara-negara yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian merancang peraturan 13 Desember menjadi undang-undang agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Pada tahun 1960 pengumuman tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 4/ 1960. Produk hukum inilah yang kemudian juga disampaikan pada Konferensi Hukum Laut PBB ke dua yang diselenggarakan tahun 1960, namun usul Indonesia masih belum dapat diterima. Pada tahun 1962, Indonesia kembali menerbitkan PERPU No. 8/ 1962 mengenai Lalu-lintas Laut Damai Kapal Asing dalam Perairan Indonesia, dan masih terus menyempurnakan implementasi Asas Negara Kepulauan dalam sistem hukum di Indonesia. Jalan Indonesia untuk memperjuangkan diakuinya Asas Negara Kepulauan mulai menemui kemudahan ketika pada tahun 1971 Indonesia dipilih menjadi anggota Committee of the Peaceful Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor beyond the Limit of National Jurisdiction yang merupakan badan PBB untuk mempersiapkan Konferensi Hukum Laut PBB. Dipilihnya Indonesia sebagai anggota badan tersebut, membuat Indonesia lebih mudah dalam menyosialisasikan implementasi prinsip negara kepulauan agar mendapatkan pengakuan dari pihak internasional. 12 Maret 1980, dengan menggunakan dasar Hukum Laut Internasional mengenai Economic Exclusive Zone Pemerintah Indonesia juga mengumumkan peraturan tentang Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil diukur dari garis dasar. Pada tahun 1983, pengumuman ini disahkan menjadi Undang-undang RI No. 5/ 1983.
Konsep negara kepulauan sendiri baru disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia pada 10 Desember 1982 pada Konvensi Hukum Laut Internasional. Tidak hanya konsep negara kepulauan saja yang disetujui, namun juga mengenai ZEE. Lebih dari itu, konsep negara kepulauan juga dimasukkan sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut PBB. Suatu kemenangan diplomasi Indonesia yang patut dicatat sejarah. Karena itulah kini taggal 13 Desember, hari di saat UU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim dan di terimanya Asas Negara Kepulauan, diperingati sebagai Hari Nusantara. Hari di saat para stake holder bangsa kita memperjuangkan kedaulatan wilayah NKRI di masa lalu. Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita mengenal Indonesia berikut pulau, laut, dan masyarakat yang hidup di dalamnya? (Omar Mohtar)
Daftar Pustaka :
Buku
Djamin, Awaloeddin. 2001. Ir H. Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Hamzah, A. 1984. Laut, Teritorial dan Perairan di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.
Wulandari, Triana, dkk. 2009. Sejarah Wilayah Perbatasan Batam Singapura 1924 2009. Depok : Gramata Publishing.
Artikel
Tri, Sulistyono, Singgih. 2008. Konsep Batas Wilayah Negara di Nusantara: Kajian Historis. (diunduh dari HYPERLINK http://eprints.undip.ac.id/3258/1/13_artikel_pak_Singgih.doc; pada 19 Maret 2012, pukul 13.52 WIB)
Internet (diakses dan diunduh pada 13 Desember 2011, pukul 19.51 WIB)
Omar Mohtar